Baja

Maraknya Baja Impor Murah Mengancam Industri Lokal, Pemerintah Diminta Bertindak Cepat

Maraknya Baja Impor Murah Mengancam Industri Lokal, Pemerintah Diminta Bertindak Cepat
Maraknya Baja Impor Murah Mengancam Industri Lokal, Pemerintah Diminta Bertindak Cepat

JAKARTA - Industri baja nasional tengah menghadapi tekanan serius akibat serbuan produk impor murah. Pelaku usaha menilai praktik impor yang tidak transparan merugikan produsen lokal dan berpotensi membahayakan keselamatan konsumen.

Modus Impor dan Dampaknya pada Industri

Direktur Eksekutif The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA), Harry Warganegara, mengungkap berbagai modus yang digunakan importir. Salah satunya adalah pengalihan kode harmonized system (HS) untuk menghindari bea masuk.

Praktik ini biasanya dilakukan dengan mengubah baja karbon menjadi baja paduan dengan menambahkan unsur paduan dalam jumlah sangat kecil. Meskipun demikian, produk tersebut tetap digunakan untuk fungsi yang sama dengan baja karbon lokal.

Akibatnya, lonjakan impor baja paduan menekan tingkat utilisasi pabrik domestik dan mengurangi penerimaan negara. Selain itu, beberapa negara pemasok memberikan rebate ekspor sehingga harga impor menjadi lebih murah.

IISIA juga menemukan peredaran produk baja impor yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Contohnya baja lapis (BjLS) yang ketebalan base metal-nya hanya 0,16–0,18 milimeter, sedangkan SNI mewajibkan minimal 0,20 milimeter.

Produk baja yang tidak memenuhi SNI berisiko terhadap keselamatan konsumen. Hal ini juga merugikan produsen lokal yang mematuhi standar mutu dan keselamatan.

Modus Lain yang Menggerus Pasar Domestik

Modus lain yang semakin marak adalah pemanfaatan pos tarif HS 7308 dan HS 9406. Komponen baja dimasukkan sebagai paket proyek atau bangunan prefabrikasi agar menghindari bea masuk tinggi dan luput dari pengawasan SNI.

Strategi ini menggerus pangsa pasar industri lokal, khususnya di sektor konstruksi dan fabrikasi. Produsen dalam negeri kesulitan bersaing karena barang impor murah dengan kualitas rendah mendominasi pasar.

Untuk menghadapi kondisi tersebut, IISIA mendorong optimalisasi instrumen tariff barrier melalui trade remedies. Instrumen seperti antidumping, antisubsidi, dan safeguard perlu diterapkan lebih cepat agar industri tidak menanggung kerugian berkepanjangan.

Selain itu, penguatan non-tariff barrier juga krusial. Penerapan SNI wajib bagi produk besi dan baja impor harus dijalankan agar hanya produk berkualitas yang boleh masuk ke pasar domestik.

Temuan BPK dan Ketidaksinkronan Data

Keluhan pengusaha diperkuat temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2025. Laporan menyebutkan ketidaksinkronan data antara Kemenperin dan Kemendag menjadi pemicu banjir impor besi, baja, dan produk turunannya.

Akibat data yang tidak sinkron, terjadi dugaan kebocoran impor sebanyak 83,61 ribu metrik ton dengan nilai Rp894,94 miliar. BPK juga menemukan bahwa beberapa persetujuan impor tidak sesuai pertimbangan teknis (pertek) Kemenperin, yang seharusnya menjadi acuan kuota importasi.

Pertek diperlukan untuk menilai urgensi impor serta dampaknya terhadap industri domestik. Namun, implementasinya sempat menjadi masalah hingga Presiden Prabowo Subianto mempertimbangkan penghapusan pertek di kementerian teknis.

BPK mencatat bahwa kelebihan alokasi impor tersebut menyebabkan ketidakteraturan dalam dokumen Persetujuan Impor (PI). Hal ini menimbulkan potensi kerugian besar bagi industri lokal yang bergantung pada regulasi adil.

Respons Pemerintah dan Janji Perbaikan Bea Cukai

Menteri Perdagangan Budi Santoso menegaskan seluruh aktivitas impor harus mengacu pada aturan yang berlaku. Pemerintah akan mengecek lebih lanjut rekomendasi BPK untuk memastikan tidak terjadi kebocoran serupa di masa depan.

Di sisi lain, pengusaha baja melalui Indonesia Society of Steel Construction (ISSC) menyampaikan keluhan terkait maraknya baja siap pasang impor. Ribuan anggota ISSC pada Oktober 2025 menggeruduk kantor pusat Bea Cukai di Rawamangun, Jakarta Timur, menuntut pengawasan lebih ketat.

Ketua Umum ISSC, Budi Harta Winata, menjelaskan bahwa gempuran baja konstruksi impor menyebabkan perusahan lokal merumahkan karyawan. Misalnya, PT Artha Mas Graha Andalan hanya menyisakan 70 pekerja las dari sebelumnya 1.000 orang.

Budi menekankan bahwa produksi barang yang bisa dibuat di dalam negeri seharusnya tidak diimpor. Ia meminta Bea Cukai memperketat pengawasan keluar masuk barang di pelabuhan untuk melindungi industri nasional.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menanggapi keluhan dengan janji meninjau pelaksanaan tugas Bea Cukai di lapangan. Ia bahkan menyinggung kemungkinan membekukan salah satu unit Bea Cukai jika dalam setahun tidak memperbaiki pengawasan.

“Kalau dalam setahun enggak beres, Bea Cukai betul-betul dibekukan. Saya ganti SGS,” ujarnya sambil disambut tawa peserta Rapimnas Kadin. Langkah ini sejalan dengan target Presiden Prabowo untuk membenahi institusi pengawasan impor.

Menjaga Industri Baja Nasional Tetap Kuat

Optimalisasi aturan perdagangan, pengawasan SNI, dan penerapan trade remedies menjadi kunci agar industri baja nasional bertahan. Perlindungan ini juga penting untuk menjaga keseimbangan pasar domestik dan mencegah distorsi harga akibat impor murah.

Pelaku industri berharap pemerintah bertindak cepat dan responsif terhadap praktik circumvention dan produk non-SNI. Dengan pengawasan lebih ketat, produsen lokal dapat tetap bersaing, menyerap tenaga kerja, dan memastikan keselamatan konsumen.

Transformasi regulasi dan pengawasan industri baja menjadi prioritas agar sektor strategis ini tetap berdaya saing. Tanpa langkah tegas, banjir baja impor murah berpotensi merusak ekosistem industri nasional dalam jangka panjang.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index